Kisah Pilu Miko, Sang Jurnalis Yang Nyaris Dikeroyok Oknum Kabid dan Pegawainya


Pena wartawan adalah sejarah terpenting yang kerap dipandang spele. Bukankah tugas mereka memang untuk menulis ? Sehingga tidak ada yang mencoba berefleksi dengan pemikiran intelek itu. Bila tanpa wartawan, sejarahpun akan berhenti bergulir.
SIKAP tak berkarakter dan arogansi ditunjukkan oleh seorang kepala bidang (Kabid) di dinas PUPR kota Sungaipenuh, Jambi.
Saat ditemui wartawan yang hendak melakukan konfirmasi berita. Sang kabid bukannya menerima layaknya mitra secara terbuka, malahan menantang untuk berkelahi.
Ini dialami oleh wartawan Jambione.com untuk wilayah liputan kota Sungaipenuh, Miko Adri saat menemui Kabid Bina Marga Kota Sungaipenuh, Alex akrab sapaannya, pada Jumat, (13/12) seminggu yang lalu.
Ditemui untuk konfirmasi berita terkait pembangunan proyek yang sudah digali tapi belum dikerjakan dikampungnya, desa Sungai Jeruang, Kec. Pondok Tinggi, e..malah diajak duel oleh sang kabid dan gerombolan anak buahnya.
Awalnya Miko tidak menduga akan mendapat tantangan duel dari sang kabid, Soalnya Miko selama ini merasa hubungannya baik-baik saja.
Namun entah kenapa tiba-tiba sang kabid naik pitam tatkala ditanya terkait proyek drainase di kampungnya itu, yang sudah digali tapi tak kunjung dikerjakan.
Tanpa basa-basi dan pandang bulu, sang kabid itupun langsung membentak, sembari tangannya mengangkat gelas minumannya, lalu menghempaskan ke meja hingga tumpah ruah dengan emosi yang meluap-luap.
Melihat sang kabid sudah naik emosi berapi-api, untuk menghindari hal yang tak di inginkan, Miko pun mencoba tenang sambil bergegas ingin meninggalkan perbincangannya dengan sang kabid.
Rupanya tak sampai disitu, pegawai Bina Marga yang merupakan staf Alex ikut menyusul Miko wartawan Jambione.com itu, hingga ke halaman kantor PUPR dan mengancam ingin berkelahi.
Bahkan gaya “Preman” tersebut ditunjukkan sang kabid dan stafnya dihadapan pegawai lainnya dilingkungan dinas tersebut.
Namun Miko Adri, wartawan Jambione.com tidak serta merta melayani tawaran duel sang kabid, dan pegawai Bina Marga yang sok jagoan itu.
Karena niat kedatangannya untuk konfirmasi keperluan berita bukan untuk adu otot seperti ajakan sang kabid.
Karena sikap emosi dan arogansi tersebut, si wartawan Miko itu pun merasa ketakutan dan berniat ingin cepat-cepat meninggalkan kantor PU itu.
Dikisahkan Miko, (20/12) wartawan yang bernasib malang seketika itu. Wajar saja dirinya mempertanyakan soal proyek drainase yang tepat berada di depan rumahnya.
Soalnya lokasi pengerjaan proyek sudah digali tapi tak kunjung dikerjakan. Sementara jembatan untuk masuk kehalaman rumah-rumah warga sekitar sudah terlanjur dirobohkan.
Pada sebelumnya sempat si Miko menanyakan perihal ikhwal tersebut kepada kontraktor pelaksana proyek, namun si kontraktor itu malah meminta Miko untuk menanyakan langsung ke PU.

Sebuah Torehan dan Renungan
Tentunya siapapun merasa prihatin atas peristiwa yang dialami Miko, semoga kekerasan pada kuli tinta mestinya tak terjadi lagi diseluruh pelosok negeri ini.
Sejarah mencatat banyak orang-orang hebat yang menjadikan wartawan sebagai sumber inspirasi dan motivasi atas karya-karyanya yang aktual dan terpercaya.
Pena wartawan adalah sejarah terpenting yang kerap dipandang spele. Bukankah tugas mereka memang untuk menulis ? Sehingga tidak ada yang mencoba berefleksi dengan pemikiran intelek itu. Bila tanpa wartawan, sejarahpun akan berhenti bergulir.
Kedepan wartawan harus melukis sejarahnya sendiri dengan segala karya dan ketajaman penanya sendiri, dengan segala empati dan menjunjung tinggi kode etik.
Paradigma berpikir harus dirombak, eksistensi jurnalis mesti dikukuhkan pada tempat terhormat di singasana sejarah.
Saya tidak tahu kenapa aliran darah saya menjadi menggebu-gebu saat mendengarkan kisah yang dialami Miko, wartawan Jambione.com itu.
Ini saya tulis bukan semata-mata atas nama “Knowlodge”. Dan lantas berubah menjadi suatu pencarian yang menggairahkan dalam rangka menemukan kebenaran dan keadilan.
Sayangnya harapan tidak selalu bermuara menjadi kebahagiaan abadi. Tidak sedikit orang-orang yang mengapresiasi kerja wartawan atas karyanya dalam mengabdi.
Namun semakin kita resah melihat ketidakadilan yang kerap diterima mereka dalam kehidupan nyata.
Rentetan sejarah yang panjang, mencatat banyak kepiluan yang mendera wartawan. Elegi tersebut jangan terulang kembali di era demokrasi yang semakin dewasa ini. Semua kita mesti peduli.(rhr)